Senin, 27 Februari 2017

MISKONSEPSI PADA PEMBELAJARAN KIMIA

                   Kimia merupakan suatu bidang ilmu pengetahuan yang menekankan pada penguasaan konsep. Dalam proses pembelajaran, konsep merupakan hal yang perlu dipahami, dipelajari dan dikuasai oleh siswa. Konsep kimia terbentuk dalam diri siswa secara berangsur-angsur melalui pengalaman dan interaksi mereka dengan alam sekitarnya (Faridah, 2004).

                   Di sekolah, mata pelajaran kimia dianggap sulit oleh sebagian besar siswa, sehingga banyak siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak berhasil dalam belajar kimia. Enawati et al (2004) mengatakan bahwa diantara para siswa SMA berkembang anggapan bahwa mata pelajaran MIPA terutama kimia merupakan mata pelajaran tersulit dan menjadi momok di kalangan mereka, sehingga tidak heran jika sebagian mereka tidak mencapai ketuntasan minimum dalam mata pelajaran kimia.

                   Miskonsepsi merupakan permasalahan umum dalam pembelajaran kimia di sekolah menengah dan perguruan tinggi yang signifikan menghambat belajar dan pengembangan kognitif. Penelitian pendidikan kimia banyak melaporkan permasalahan miskonsepsi ini, namun sampai sekarang miskonsepsi masih merupakan permasalahan dalam pembelajaran kimia yang memerlukan penanganan serius. Hal yang sama direfleksikan oleh Johnstone (2000: 34), “Research literature has been dominated by work on misconceptions, but little has as yet appeared about how to reverse these or to avoid them altogether”.Pemecahan permasalahan miskonsepsi memerlukan pembelajaran dengan strategi khusus. Pembelajaran tradisional sulit mengatasi permasalahan miskonsepsi atau pengubahan konseptual (Ates, 2003; Coll & Treagust, 2001).

                   Ilmu kimia adalah sains IPA yang khusus mempelajari struktur, susunan, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan tersebut. Kimia melihat struktur dan susunan materi dari sisi partikel materi yang non-observable yang menentukan sifat-sifat materi (observable). Proses-proses kimia dan semua realitas kimia (fenomena makroskopis) secara paradigmatik dapat dijelaskan dari perspektif molekular (submikroskopis) sehingga kimia dipandang sebagai submicroscopic science (Wu, dkk., 2001). Johnstone (2000) menyatakan bahwa kajian kimia terdiri dari tiga aspek yang saling terkait satu dengan yang lain yang dilukiskan sebagai triangle, yaitu makroskopis, submikroskopis, dan simbol, seperti digambarkan pada Gambar 1.




Menurut Suparno (2005) ada lima hal yang menjadi penyebab miskonsepsi yaitu siswa, guru, buku teks, konteks dan metode mengajar. Penyebab miskonsepsi dari siswa terdiri dari berbagai hal, yaitu : prakonsepsi, pemikiran humanistik, pemikiran asosiatif siswa, reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, perkembangan kognitif siswa, minat siswa, dan kemampuan siswa.

                   Munculnya miskonsepsi bisa dilihat dari dua sisi umum, yaitu karakteristik konsep, dan pembelajaran. Dari sisi karakteristik konsep kimia: (1) Konsep dasar kimia bersifat abstrak, esensi kimia adalah kajian secara submikroskopis dan spatial in nature (Wu, dkk., 2001), (2) Makna konseptual kimia sering bertentangan dengan pengamatan kasat mata, (3) Beberapa istilah yang digunakan sama dengan dalam kehidupan sehari-hari, terkait dengan budaya, tetapi mempunyai makna yang berbeda dengan makna konceptual kimia, dan (4) Real word chemistry sangat kompleks untuk dikaji secara komprehensif dalam pembelajaran kimia, sehingga kasus dalam pembelajaran kimia cenderung parsial (exemplar models) terkait dengan konsep yang sedang dibahas.

Dari sisi pembelajaran: (1) pembelajaran kimia cenderung algoritmik, verbalisme, perdefinisi dan contoh (Niaz, 2005; Stamovlasis, dkk., 2005), (2) pembelajaran hanya menekankan fenomena fisis (makro) dan terkesan penjejalan fakta (marshals of evident) sehingga tidak efektif (Gabel,1999), (3) dalam pembelajaran, kajian submikroskopis sering diabaikan ataupun cenderung dilaksanakan secara parsial dengan kajian makroskopis dan simbol, (4) kurikulum kimia terkesan kurang hierarkis dan tidak lengkap (incompleteness), (5) bahasa dan tidak konsistennya paparan yang digunakan dalam buku teks (Chiu, 2005), dan (6) bentuk-bentuk pemodelan, analogi, dan penjelasan dari guru yang tidak bisa mempresentasikan makna konseptual secara menyeluruh bisa menyisakan kekeliruan penafsiran atau miskonsepsi yang bersifat konsisten (Chiu, 2005).

                   Miskonsepsi dalam pelajaran kimia akan sangat fatal dikarenakan konsep-konsep kimia saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga kesalahan konsep di awal pembelajaran akan berpengaruh kepada pelajaran lanjutan, hal ini akan bermuara pada rendahnya kemampuan siswa dan tidak tercapainya ketuntasan belajar ,salah satu contohnya adalah pemahaman materi laju reaksi. Laju reaksi merupakan bagian dari konsep kimia yang bersifat abstrak, sehingga sering membuat siswa kesulitan dalam memahami konsep ini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2006) menunjukkan bahwa hampir setengah siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep pengaruh katalis dan suhu terhadap laju reaksi.

Tabel 1.      Jenis-Jenis Miskonsepsi
No
Jenis Miskonsepsi
Keterangana
1
Kepercayaan
bek
Konsepsi popular yang berasal dari pengalaman sehari-hari.
Contoh: kentang dapat megurangi kadar garam dalam larutan
2
Kepercayaan non-ilmiah
Termasuk di dalamnya adalah pandangan yang keliru yang dipelajari siswa dari sumber non ilmiah, misalnya mitos dan sebagainya.
Contoh: gas tidak memiliki massa
3
Salah paham konseptual
Berkembang saat siswa diberi informasi ilmiah yang tidak memberi tantangan pada paradoks dari kepercayaan beku dan kepercayaan non ilmiah.
Contoh: larutan adalah campuran zat dengan air
4
Miskonsepsi vernacular
(dialek)
Muncul dari penggunaan kata atau istilah yang berbeda pada kehidupan sehari-hari dan ilmiah.
contoh: Air berwarna putih atau air berwarna bening.
5
Miskonsepsi faktual
Kesalahan konsep yang terjadi dari sejak kecil dan tidak berubah atau tertantang hingga dewasa.
Contoh: zat kimia itu berbahaya

Miskonsepsi yang terjadi diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Pengaruh Luas Permukaan Terhadap Laju Reaksi
Miskonsepsi yang terjadi adalah : zat yang memiliki ukuran partikel lebih kecil memiliki luas permukaan sentuhan yang lebih kecil dalam masa yang sama. Hal ini bertentangan dengan konsep yang benar dimana bahan kimia yang memiliki ukuran lebih kecil memiliki luas permukaan sentuhan lebih besar sehingga reaksi lebih cepat berlangsung (Goldberg, 2004). Dalam memahami pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi, siswa mengira bahwa bahan yang berbentuk serbuk memiliki luas permukaan lebih kecil sehingga reaksi lebih cepat berlangsung.

2.      Pengaruh suhu terhadap laju reaksi
Disini siswa sering salah dalam memahami pengaruh katalis dan suhu terhadap laju reaksi terutama mereka sering tertukar dalam memahami antara energi kinetik reaktan dan energi aktivasi reaktan. Dalam sebuah penelitan dikatakan  sebanyak 2,63% siswa beranggapan bahwa kenaikan suhu meyebabkan energi aktivasi menurun, dan sebanyak 55,26% siswa beranggapan peningkatan suhu menyebabkan energi aktivasi meningkat sehingga reaksi lebih cepat berlangsung.

3.      Pengaruh katalis terhadap laju reaksi
Menurut temuan Sinaga (2006) dimana hampir setengah dari jumlah siswa mengalami miskonsepsi pada konsep pengaruh katalis terhadap laju reaksi. Dalam hal pengaruh penambahan katalis terhadap laju reaksi, sebagian besar siswa memahami bahwa penambahan katalis dapat menaikkan energi aktivasi reaktan sehingga reaksi lebih cepat berlangsung.

TUGAS PETA KONSEP PEMBELAJARAN KIMIA









permasalahan:

menurut teman - teman mengapa dalam pembelajaran kimia sering terjadi miskonsepsi.? apa yang dapat kita lakukan selaku calon guru untuk mengatasi agar tidak terjadi lagi miskonsepsi ini dalam pembelajaran kimia.?


Minggu, 26 Februari 2017

BERFIKIR TINGKAT TINGGI (HIGH ORDER THINKING)

Menurut Ibrahim dan Nur (2004), berpikir memiliki beberapan pengertian antara lain: 1) berpikir adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran; 2) berpikir adalah proses secara simbolik menyatakan (melalui bahasa) obyek nyata dan kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik itu untuk menemukan prinsip-prinsip yang esensial tentang obyek dan kejadian itu; dan 3) berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama.

            Ball & Garton (2005) dan Aksela (2005) menyatakan bahwa kompetensi berpikir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kompetensi berpikir tingkat rendah (lower order thingking/LOW) dan kompetensi berpikir tingkat tinggi (higher order thingking/HOT). Kompetensi berpikir tingkat rendah meliputi mengingat, menghafal, dan sedikit memahami sedangkan kompetensi berpikir tingkat tinggi adalah kegiatan mental dalam memecahkan masalah dalam tingkat yang lebih tinggi dari tingkat berpikir dasar. Agar mampu memecahkan masalah dengan baik dan berkualitas tinggi dituntut kemampuan aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi, generalisasi, membandingkan, mendeduksi, mengklasifikasi informasi, menyimpulkan, dan mengambil keputusan.

            Berpikir tingkat rendah lebih fokus pada pengumpulan, mengklasifikasi, menyimpan, dan mengingat. Berpikir tingkat rendah tidak menghasilkan sesuatu yang baru dan kreatif serta tidak memerlukan keterampilan berpikir yang lebih rumit. Aksela (2005) menyatakan bahwa kompetensi berpikir tingkat rendah meliputi pengetahuan (knowledge/recall), dan pemahaman (comprehension).

Arnyana (2007) mengemukakan kompetensi berpikir tingkat tinggi dapat diajarkan di sekolah melalui proses pembelajaran. Lebih lanjut mereka mengemukakan penekanan dalam proses pembelajaran adalah melatih kompetensi berpikir siswa dan bukan pada materi pelajaran. Mengajarkan siswa untuk berpikir secara langsung membuat siswa menjadi cerdas. Dalam kompetensi berpikir tingkat tinggi kegiatan pembelajaran bersifat student centered karena siswa yang lebih banyak berperan di dalam proses pembelajaran.

      Johnson  (2002) menyatakan kompetensi berpikir tingkat tinggi dapat dibagi menjadi kompetensi berpikir kritis dan kompetensi berpikir kreatif. Hubungan antara berpikir kritis dan kreatif sebagai bagian dari berpikir tingkat tinggi ditunjukkan seperti Gambar di bawah



Pada Gambar di atas, reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas levelretention atau recall (retensi atau memanggil). Reasoning meliputi basic thingking, critical thingking, dan creative thingking. Kompetensi retention thinking merupakan tingkatan berpikir yang paling rendah. Retention thinking yang merupakan berpikir hafalan atau ingatan, apabila dikaitkan dengan tingkatan Taksonomi Bloom akan menempati tingkatan paling bawah yaitu level hafalan (C1). Kompetensi basic thinking merupakan tingkatan kedua. Dimana basic thinking merupakan pemahaman (berpikir dasar). Jika dikaitkan dengan Taksonomi Bloom, maka basic thinking menempati tingkatan kedua yaitu level pemahaman (C2). Critical thinking dan creative thinking yang merupakan bagian dari high order thinking, apabila dikaitkan dengan Taksonomi Bloom akan menempati tingkatan keempat sampai enam, yang meliputi: level aplikasi (C3), level analisis (C4), level sintesis (C5), dan level evaluasi (C6).

Bagaimana Melatih Siswa Berpikir Tingkat Tinggi?

Di Indonesia, proses pembelajaran yang melatih siswa berpikir tingkat tinggi memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu (teacher center) belum student center; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Diperlukan Higher Level Questions (rich questions), pertanyaan yang meminta siswa untuk menyimpulkan, hypothesise, menganalisis, menerapkan, mensintesis, mengevaluasi, membandingkan, kontras atau membayangkan,  menunjukkan jawaban tingkat tinggi. Untuk menjawab Higher Level Questions (rich questions) diperlukan penalaran tingkat tinggi yaitu cara berpikir logis yang tinggi, berpikir logis yang tinggi sangat diperlukan siswa dalam proses pembelajaran di kelas khususnya dalam menjawab pertanyaan, karena siswa perlu menggunakan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dimilikinya dan menghubungkannya ke dalam situasi baru.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam melatih keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa bertambah banyak.

Adang (1985), Suastra & Kariasa (2001) mengatakan bahwa untuk melatihkan kompetensi berpikir tingkat tinggi, siswa hendaknya diberi kesempatan sebagai berikut :

1.      Mengajukan pertanyaan yang mengundang berpikir selama proses belajar mengajar berlangsung.
2.      Membaca buku-buku yang mendorong untuk melakukan studi lebih lanjut.
3.      Memodifikasi atau menolak usulan yang orisinil dari temannya, guru atau dari buku pelajaran.
4.      Merasa bebas dalam mengajukan tugas pengganti yang mempunyai potensi kreatif dan kritis.
5.      Menerima pengakuan yang sama untuk berpikir kreatif dan kritis seperti juga untuk hasil belajar yang berupa mengingat.
6.      Memberikan jawaban yang tidak sama persis dengan yang ada dalam buku, namun konsep atau prinsipnya benar.


PERMASALAHAN :

Menurut teman – teman apakah dengan diterapkannya kurikulum k 13 yang telah dijalankan dan diterapkan disekolah – sekolah yang ada diindonesia ini oleh mentri pendidikan sudah dapat meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi pada siswa.? Mohon berikan pendapat teman – teman sekalian...

Sabtu, 18 Februari 2017


Upaya Meningkatkan Kreativitas Dan Inovasi Guru Dalam Proses Belajar Mengajar


1. KREATIVITAS

1.1    Pengertian Kreativitas
Kreatifitas adalah orisinalitas, artinya bahwa produk, proses, atau orangnya, mampu menciptakan sesuatu yang belum diciptakan oleh orang lain. Kreativitas juga dapat dispesifikkan dalam dunia pendidikan, yang dinamakan oleh Torrance dan Goff (1990) sebagai kreativitas akademik (academic creativity), Kreativitas akademik ini menjelaskan cara berpikir guru atau siswa dalam belajar dan memproduksi informasi. Berpikir dan belajar kreatif memuat kemampuan untuk mengevaluasi (kemampuan untuk menangkap akar masalah, ketidakkonsistenan dan elemen yang hilang), berpikir divergen (fleksibilitas, originalitas dan elaborasi) dan redefinisi.
Kreativitas juga dapat diartikan sebagai sebuah karya yang harmonis dalam pembelajaran yang berdasarkan tiga aspek cipta, rasa dan karsa yang akan menghasilkan sesuatu yang baru agar dapat membangkitkan dan menanamkan kepercayaan diri siswa supaya dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
Bentuk kreativitas seorang guru dalam pembelajaran di kelas, akan sangat membantu dalam menentukan arah dan tujuan pembelajaran. Kreativitas guru akan lebih memudahkan siswa dalam menerima dan memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru, sehingga tujuan dari pembelajaran dalam hal ini pembelajaran akidah akhlak akan mampu membentuk kepribadian dan moral siswa menjadi pribadi yang Islami dan moral yang luhur.
Membangun kreativitas guru membutuhkan proses, ia tidaklah lahir tiba-tiba, ada proses yang mengawalinya seperti: pertama, belajar dari pengalaman mengajar, baik diperoleh dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman guru lain. Guru dapat belajar dan merefleksikan perjalanan proses belajar mengajarnya ke dalam praktik pembelajaran bersama siswa. Kedua, rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam terhadap murid-muridnya agar mereka menjadi manusia ideal  di masa yang akan datang. Cinta adalah energi kehidupan. Cinta merupakan sumber pemicu yang kuat atas lahirnya kreativitas. Jika ada cinta dan kasih sayang, maka rasa dan jiwa guru terlibat dalam proses pengajaran dan pendidikannya sehingga totalitas kinerja guru lahir. Perasaan siswa dapat menangkap cinta kasih gurunya sehingga terjalin hubungan psikologis antara siswa dan guru. Ketiga, adanya tanggung jawab yang mendalam terhadap tugasnya. Keempat, guru giat belajar untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kepribadian dan keterampilannya yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru.

1.2.   Kreatifitas Guru Dalam Pembelajaran
Kreatifitas guru dapat diarahkan pada dua komponen pembelajaran di kelas, yaitu produk kreatifitas dan hasil inovasi yang mendukung manajemen kelas serta hasil kreatifitas dan hasil inovasi dalam bentuk media pembelajaran.

1.       Kreatifitas dalam Manajemen Kelas

Manajemen kelas adalah aktifitas guru dalam mengelola dinamika kelas, mengorganisasikan sumber daya yang ada serta menyusun perencanaan aktifitas yang dilakukan di kelas untuk diarahkan dalam proses pembelajaran yang baik. Dalam hal manajemen kelas, kreatifitas guru dalam manajemen kelas diarahkan untuk: 

a.  Membantu siswa di kelas dapat belajar secara kolaboratif dan kooperatif
b.  Menciptakan lingkungan akademik yang kondusif dalam proses belajar

2.    Kreatifitas dalam Pemanfaatan Media Belajar
Media belajar adalah alat atau benda yang dapat mendukung proses pembelajaran di kelas. Fungsi Media Belajar (1) membantu siswa dalam memahami konsep abstrak yang diajarkan, (2) meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, (3) Mengurangi terjadinya misunderstanding, (4) Memotivasi guru untuk mengembangkan pengetahuan. Dalam hal media belajar, kreatifitas guru dalam media  belajar diarahkan untuk: 

a.       Mereduksi hal-hal yang terlalu abstrak dalam materi belajar
b.      Membantu siswa mengintegrasikan materi belajar ke dalam situasi yang nyata

1.3.    Manfaat Kreatifitas Guru Dalam Pendidikan

Dalam proses belajar dan mengajar, kreatifitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tak terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreatifitas guru tidak sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri manusia saja, akan tetapi mencakup apek-aspek lainnya yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif. Secara umum kreatifitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Namun fungsi tersebut dapat dispesifikkan menjadi beberapa macam antara lain :

1.       Kreatifitas guru berguna bagi peningkatan minat siswa terhadap mata siswaan
Produk kreatifitas guru diharapkan akan memberikan situasi yang nyata pada proses pembelajaran. Selama ini siswa dituntut untuk memiliki kemampuan verbalisme yang tinggi pada hal-hal yang abstrak. Verbalisme adalah hal sangat sulit sekali dan membosankan bagi siswa jika terus menerus dipacu di sekolah. Penerapan produk kreatifitas guru misalnya berupa instrumen yang mampu mengajak siswa belajar ke dunia nyata melalui visualisasi akan mampu menurunkan rasa bosan siswa dan meningkatkan minatnya pada mata siswaan

2.       Kreatifitas guru berguna dalam transfer informasi lebih utuh
Hasil inovasi berupa instrumen bantu pendidikan akan memberikan data atau informasi yang utuh, hal ini terlihat pada aktifnya indera siswa, baik indera penglihatan, pendengaran dan penciuman, sehingga siswa seakan-akan menemui situasi yang seperti aslinya. Produk kreatifitas guru akan melengkapi gambaran abstrak yang sebelumnya dipahami siswa dan membetulkan pemahaman yang salah mengenai informasi yang didapatkan dari teks. Pada kasus penerapan produk kreatifitas guru pada laboratorium, dengan memanipulasi objek dan situasi penelitian sedemikian rupa, maka objek dan situasi tersebut seakan-akan sesuai dengan fenomena-fenomena yang dipelajari oleh siswa.

3.      Kreatifitas guru berguna dalam merangsang siswa untuk lebih berpikir secara ilmiah dalam mengamati gejala masyarakat atau gejala alam yang menjadi objek kajian dalam belajar.
Produk kreatifitas guru sangat penting dalam pengembangan kerangka berpikir ilmiah berupa langkah rasional, sistematik, dan konsisten. Hasil-hasil kreatifitas guru akan merangsang siswa untuk membantu siswa dalam mengidentifikasi masalah, observasi data, pengolahan data serta perumusan hipotesis. Kegiatan tersebut tidak hanya hanya memperkuat ingatan terhadap informasi yang diserap, tetapi juga berfungsi sebagai pembentukan unsur kognitif yang menyangkut jenjang pemahaman.

4.      Produk kreatifitas guru akan merangsang kreatifitas siswa.
Kreatifitas guru dapat digunakan secara mandiri oleh siswa, dimana siswa dapat mengembangkan kreatifitasnya serta imajinasi dan daya nalarnya dalam memahami materi yang diajarkan. Siswa akan memiliki kelancaran, keluwesan, orisinalitas dan keunikan dalam berpikir.

1.4    Peranan Kreativitas Guru Dalam Meningkatkan Pembelajaran Siswa

Setiap orang memiliki potensi untuk melakukan aktifitas yang kreatif. Setiap siswa baru yang memasuki proses belajar, dalam benak mereka selalu diiringi dengan rasa ingin tahu. Guru pada tahap ini diharapkan untuk merangsang siswa untuk melakukan apa yang dinamakan dengan learning skills acquired, misalnya dengan jalan memberi kesempatan siswa untuk bertanya (questioning), menyelidik (inquiry), mencari (searching), menerapkan (manipulating) dan menguji coba (experimenting). Kebanyakan yang terjadi di lapangan adalah aktifitas ini jarang ditemui karena siswa hanya mendapatkan informasi yang bagi mereka adalah hal yang abstrak. Rasa ingin tahu siswa harus dijaga dengan cara memberikan kesempatan bagi mereka untuk melihat dari dekat, memegangnya serta mengalaminya.

Berikut beberapa pembiasaan guru kiranya dapat dijadikan bahan renungan untuk mengimprov kreativitas dan inovasi guru dalam mengelola pembelajaran di dalam kelas:

1. Mengaplikasi pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan, siswa bisa diajak ke luar kelas dengan tujuan memaksimalkan lingkungan sekolah sebagai alat, media dan sumber belajar yang sesuai.

2. Mengoptimalkan proses pembelajaran dengan memanfaatkan potensi sekolah yang ada, terutama sekolah yang siswanya banyak berasal dari lapisan masyarakat margin proses pembelajarannya disetting yang kreatif inovavatif mampu beradaptasi berbagai macam situasi.

3. Mendisain pembelajaran oleh “guru kreator” yang dapat menumbuhsuburkan kreativitas dan inovasi pembelajaran dengan analisis dan evaluasi untuk penyempurnaan disain berikutnya.

4.Hindari ketegangan semua pelaku proses pembelajaran. Baik guru maupun siswa diharapkan mampu memnghindari ketegangan sebaliknya nikmati situasi dan kondisi pembelajaran menuju tercapainya kompetensi siswa sesuai KTSP.

5.Biasakan selalu mengamati lingkungan sekolah sehingga dapat menemukan area yang dapat dijadikan alat, media dan sumber belajar siswa.

6.Mengimprovisasi daya kreatif dan inovsi dengan sedikit humor sehat dan seperlunya saja untuk mempertahankan dan mengembangkan semangat inovasinya.

7.Keluar dari dunia sempit menuju dunia luas dengan banyak baca buku bidang seni dan teknologi dapat menambah daya peka berfikir efektif dan efisien.

2. INOVASI

2.1. Pengertian Inovasi menurut Para Ahli

Pengertian inovasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah penemuan baru yg berbeda dari yg sudah ada atau yg sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Everett M. Rogers (1983) mendefisisikan bahwa inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktek atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. Pengertian inovasi menurut Stephen Robbins (1994) adalah suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa.

Pengertian inovasi menurut Van de Ven dan Andrew H adalah pengembangan dan implementasi gagasan-gagasan baru oleh orang dimana dalam jangka waktu tertentu melakukan transaksi-transaksi dengan orang lain dalam suatu tatanan organisasi. Sedangkan menurut menurut Kuniyoshi Urabe, inovasi merupakan kegiatan satu kali pukul (one time phenomenon), melainkan suatu proses yang panjang dan kumulatif yang meliputi banyak proses pengambilan keputusan di dan oleh organisasi dari mulai penemuan gagasan sampai implementasinya di pasar.

2.2 Empat Ciri Inovasi

a. Memiliki kekhasan / khusus artinya suatu inovasi memiliki ciri yang khas dalam arti ide, program, tatanan, sistem, termasuk kemungkinan hasil yang diharapkan.

b. Memiliki ciri atau unsur kebaruan, dalam arti suatu inovasi harus memiliki karakteristik sebagai sebuah karya dan buah pemikiran yang memiliki kadar Orsinalitas dan kebaruan.

c. Program inovasi dilaksanakan melalui program yang terencana, dalam arti bahwa suatu inovasi dilakukan melalui suatu proses yang yang tidak tergesa-gesa, namun kegiatan inovasi dipersiapkan secara matang dengan program yang jelas dan direncanakan terlebih dahulu.

d. Inovasi yang digulirkan memiliki tujuan, program inovasi yang dilakukan harus memiliki arah yang ingin dicapai, termasuk arah dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.

3. MEDIA PEMBELAJARAN

3.1. Pengertian Media
Istilah media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Makna umumnya adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Istilah media sangat populer dalam bidang komuikasi. Proses belajar mengajar pada dasarnya juga merupakan proses komunikasi, sehingga media yang ddigunakan disebut media pembelajaran.
Menurut Hamalik (D. Rostika, 2003 : 13) mengemukakan “yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah” Gagne (Rahadi, 2003 : 10) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Senada dengan itu, Briggs mengartikan media sebagai alat untuk memberikan perangsangan bagi siswa agar terjadi proses belajar.

3.2. Fungsi Media
Dalam proses belajar mengajar fungsi media pembelajaran tidak hanya sebagai alat bantu yang digunakan guru, akan tetapi juga sebagai sarana untuk mengkomunikasikan pesan kepada anak didik.

Rowntree (Rostika, D. 2003 : 14) mengatakan bahwa :
a) media pembelajaran membangkitkan motivasi siswa,
b) dengan menggunakan media pembelajaran siswa dapat mengulangi apa yang telah mereka pelajari,
c) media pembelajaran dapat merangsang siswa untuk belajar dengan penuh semangat,
d) media pembelajaran dapat lebih mengaktifkan adanya respon dari siswa.
e) dengan menggunakan media pembelajaran dapat diharapkan adanya umpan balik dengan segera.

Dari pemaparan di atas, dengan penggunaan media pembelajaran tentunya diharapkan dapat mempertinggi nilai proses belajar siswa dalam pembelajaran yang pada gilirannya dapat mempertinggi hasi belajar yang dicapainya. Ada beberapa alasan bahwa dengan penggunaan media pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa. Alasan pertama berkenaan dengan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, antara lain :

(a) Pembelajaran lebih menarik perhatian sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.

(b) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran lebih baik.

(c) Metode mengajar akan lebih bervariasi, sehingga siswa tidak bosan.

(d) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, siswa melakukan aktivitas lebih banyak selain mendengarkan uraian guru, siswa juga melakukan aktivitas mengamati, mensimulasikan, mendemonstrasikan, dan sebagainya.

Alasan kedua berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir sederhana menuju berpikir kompleks. Penggunaan media  pembelajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut, sebab dengan media pembelajaran hal-hal yang abstraks dapat dikonkritkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan.




CONTOH PRODUK INOVASI GURU




Permasalahan:
Kita ketahui bahwa saat ini kebanyakan guru yang mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah guru yang tidak berusia muda lagi. guru - guru pun kebanyakan tidak kreatif dalam menciptakan susana kelas yang menyenangkan dan membuat semangat siswa meningkat untuk mengikuti pembelajaran. Sehingga pada saat melangsungkan proses belajar mengajar tidak terlalu mementingkan penggunaan media pembelajaran, padahal media pembelajaran sangat membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran khusus nya pelajaran kimia yang dianggap sulit oleh kebanyakan siswa. Bagaimanakah pendapat teman – teman mengenai hal ini.? Upaya apa yang dapat kita lakukan  sebagai calon pendidik untuk mengatasi hal tersebut.?